Dalam kehidupan rumah tangga, banyak suami yang pergi merantau jauh untuk bekerja dan mencari nafkah, meninggalkan istri dan keluarga di rumah. Namun, terkadang, istri kehilangan kontak dengan suami selama bertahun-tahun. Pertanyaannya adalah bagaimana hukum menikahi perempuan dalam situasi seperti itu?
Dalam Fiqih, suami yang pergi dan keberadaannya tidak diketahui dalam jangka waktu yang cukup lama disebut sebagai mafqûd. Kehilangan kontak suami bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti pergi tanpa memberi kabar, menjadi korban bencana tanpa jasad ditemukan, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, terdapat dua pendapat dari ulama. Pendapat pertama menyatakan bahwa perempuan harus menunggu hingga diyakini bahwa ikatan pernikahannya dengan suami telah terputus, entah karena suami meninggal, menceraikannya, atau alasan lain. Selanjutnya, perempuan harus menjalani masa iddah.
Pendapat ini mengacu pada asumsi bahwa status asli dalam kasus tersebut adalah suami masih hidup dan pernikahannya masih berlaku secara sah, sehingga tidak dapat dianggap batal kecuali ada bukti yang meyakinkan sebaliknya. Ini sejalan dengan pendapat Imam As-Syafi'i dalam qaul jadid.
قوله (وَمَنْ غَابَ) بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ
"Jika suami menghilang karena pergi atau karena alasan lain, dan tidak ada kabar tentangnya, maka istri tidak diperbolehkan untuk menikah lagi sampai diyakini, dengan dasar yang kuat seperti berita yang tersebar luas atau dinyatakan mati secara hukum, seperti kematian atau talak, atau situasi serupa, seperti murtad sebelum atau setelah terjadi persetubuhan, dengan syarat bahwa istri telah menjalani masa iddah. Hal ini karena prinsip hukumnya adalah bahwa suami masih hidup dan pernikahannya masih sah secara pasti, sehingga status tersebut tidak dapat dicabut kecuali dengan bukti yang meyakinkan atau setara dengannya," (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj pada Hawâsyais Syarwani wal ‘Abbâdi, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1996], cetakan pertama, Jilid X, halaman 456).
Pendapat kedua mengatakan bahwa perempuan harus menunggu hingga melewati periode empat tahun qamariyah dan kemudian menjalani masa iddah selama 4 bulan 10 hari. Periode empat tahun dijadikan standar karena itu merupakan batas waktu maksimum untuk masa kehamilan. Perhitungan dimulai sejak hilangnya suami atau ketika hakim membuat keputusan hukum mengenai kematian suami.
قوله (وَفِي الْقَدِيمِ تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ) قِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ وَالْأَصَحُّ مِنْ حِينِ ضَرْبِ الْقَاضِي فَلَا يُعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَهُ (ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ) بَعْدَهَا اتِّبَاعًا لِقَضَاءِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِذَلِكَ وَاعْتُبِرَتْ الْأَرْبَعُ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ.
Menurut pandangan yang lebih tua, perempuan harus menunggu selama empat tahun sebagaimana versi tertentu yang menghitung masa empat tahun sejak suami menghilang. Namun, menurut versi yang lebih sahih, masa empat tahun dihitung sejak ada keputusan dari hakim, sehingga waktu sebelumnya tidak diperhitungkan. Setelah itu, perempuan menjalani masa iddah seperti orang yang ditinggal mati oleh suaminya, dan setelah itu dia diperbolehkan untuk menikah. Hal ini mengikuti keputusan hukum Umar RA dalam kasus tersebut, dan penggunaan periode empat tahun ini diperhatikan karena itu adalah batas waktu maksimal masa kehamilan.
Pandangan lama yang disampaikan oleh Imam As-Syafi'i rahimahullâh ini sejalan dengan riwayat pendapat dari ulama lainnya. Di antara mereka adalah para sahabat seperti ‘Umar bin Al-Khattab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Ibnu Mas’ud radhiyallâhu ‘anhum. Sementara dari generasi tabi'in, terdapat An-Nakhai’, Atha’, Az-Zuhri, Makhul, dan As-Sya’bi yang menyampaikan pendapat yang serupa.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ قَضَيَا بِذَلِكَ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَا تَنْتَظِرُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ أَرْبَعَ سِنِينَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ عُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ فِي رِوَايَةٍ وَعَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ كَالنَّخَعِيِّ وَعَطَاءٍ وَالزُّهْرِيِّ وَمَكْحُوْلٍ وَالشَّعْبِيُّ
Disebutkan dalam riwayat bahwa Umar dan Utsman pernah memutuskan hukum tersebut. Riwayat yang berasal dari Sa’id bin Manshur dengan sanad yang sahih, mengatakan bahwa Ibnu Umar RA dan Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa istri yang ditinggalkan harus menunggu empat tahun. Hal ini juga diriwayatkan dari Utsman dan Ibnu Masud, serta dari beberapa tabi'in seperti An-Nakha’i, Atha’, Az-Zuhri, Mahkul, dan As-Sya’bi.
Dengan demikian, hukum menikahi perempuan yang ditinggalkan suaminya memiliki dua pendapat yang diperbolehkan. Pertama, perempuan harus meyakini bahwa ikatan pernikahannya dengan suami telah terputus, entah karena kabar kematian, perceraian, atau alasan lain, dan kemudian menjalani masa iddah. Kedua, perempuan harus menunggu hingga lewat empat tahun sejak suami menghilang, diikuti dengan masa iddah selama 4 bulan 10 hari.
Source : kemenag.go.id
Comments0